Ali Mughayat Syah dari Aceh

Sultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah adalah pendiri dan sultan pertama Kesultanan Aceh yang bertakhta dari tahun 1514 sampai meninggal tahun 1530. Mulai tahun 1520, ia memulai kampanye militer untuk menguasai bagian utara Sumatera. Kampanye pertamanya adalah Daya, di sebelah barat laut yang menurut Tomé Pires belum mengenal Islam. Selanjutnya pasukan melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas. Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, maka didirikanlah banyak pelabuhan. Penyerangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukannya. Di Deli meliputi Pedir (Pidie) dan Pasai, pasukannya mampu mengusir garnisun Portugis dari daerah itu. Dalam penyerangan tahun 1824 terhadap Aru, tentaranya dapat dikalahkan oleh armada Portugis. Aksi militer ini ternyata juga mengancam Johor, selain Portugis sebagai kekuatan militer laut di kawasan itu. Setelah meninggal tahun 1530, ia digantikan oleh Salahuddin yang merupakan putranya sendiri. (wikipedia)

Ali Ri'ayat Syah II, Raja Buyung

Sultan Buyung atau dikenal juga sebagai Ali Ri'ayat Syah II (meninggal 28 Juni 1589) adalah sultan kesembilan Kesultanan Aceh. Dia berkuasa dalam waktu yang singkat ditengah kisruh perebutan kekuasaan sultan di Aceh antara tahun 1585-1589, ia terbunuh dalam kekacauan politik tersebut.

Latar belakang
Sultan Buyung aslinya bukanlah bagian dari keluarga sultan Aceh tetapi berasal dari Indrapura di pantai barat Sumatera. Latar belakangnya yang diketahui dari data epigrafi, dia adalah putra dari Munawwar Syah, putra Muhammad Syah, putra Almalik Zainuddin. Hal ini menandakan bahwa Indrapura telah diperintah oleh dinasti Muslim setidaknya sejak 1500. Adik Sultan Buyung, Raja Dewi, menikah dengan Sultan Mughal alias Sultan Sri Alam yang menjadi sultan Aceh untuk masa yang singkat pada tahun 1579. Kehadirannya di Aceh bersama seorang adiknya yang janda hanya dua bulan menjelang terbunuhnya Alauddin Mansur Syah. Hal ini terjadi pada awal tahun 1585 menurut kronik namun pada tahun 1586 menurut sebuah catatan Portugis.

Perebutan kekuasaan
Setelah pembunuhan Alauddin Mansur Syah, Sultan Buyung telah diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah. Alasan kuat atas terpilihnya tidak diketahui, tetapi ada kemungkinan karena tidak adanya kandidat sultan yang dewasa dikalangan kerabat sultan terbunuh untuk mewarisi posisi sultan menjadi alasan bagi pengangkatannya. Sultan tua hanya meninggalkan seorang cucu yang masih kanak-kanak bernama Raja Asyem[3]. Pada masa pemerintahannya yang singkat kesultanan Aceh menghentikan sementara permusuhan dengan Portugis di Melaka. Hubungan antara Portugis dengan kesultanan Johor memburuk setelah tahun 1585, pada tahun 1587 Johor mengalami kekalahan militer yang parah. Memanfaatkan kondisi itu utusan Aceh datang ke Melaka dan menawarkan pembicaraan damai antara Aceh-Johor, perutusan itu menghasilkan kesepakatan damai yang mengatur pengelolaan jalur maritim di Selat Malaka. Perdamaian ini bertahan hingga tahun 1606 pada penghujung masa pemerintahan Sultan Ali Riayat Syah II. Akhirnya sultan dibunuh secara misterius pada tahun 1589, pembunuhnya diyakini sebagai sekelompok bangsawan kesultanan yang menghendaki penggantian sultan. Dengan kematiannya itu menjadikan dia sebagai penguasa keempat yang berturut-turut dibunuh. Selanjutnya tahta sultan digantikan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil yang merupakan keturunan penguasa Aceh abad ke-15[6]. Kematian sultan Buyung serta pengangkatan sultan yang baru sekaligus mengakhiri 10 tahun konflik perebutan kekuasaan di kesultanan Aceh.
(wikipedia)

Alauddin al-Qahhar dari Aceh

Sultan Alauddin al-Qahhar bergelar resmi `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahhar adalah Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537 atau sekitar tahun 1539 menurut Lombard hingga tahun 1568 atau 8 Jumadil awal 979 H / 28 September 1571. ia menggantikan saudaranya Sultan Salahuddin pada tahun 1537 atau 1539 pada kudeta kerajaan kerajaan. Dalam tradisi Aceh, ia juga dikenang sebagai penguasa yang memisahkan masyarakat Aceh ke grup administratif (kaum atau sukeë).

Kampanye militer
Pada saat naik tahta, Sultan Alauddin Al-Qahhar nampak menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, namun juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak pada tahun 1539. Dalam penyerbuan itu, ia menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abbesinia. Pasukan Turki berjumlah 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando orang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasha di Kairo. Ia juga menyerang Kerajaan Aru, tetapi dilawan oleh pasukan Kesultanan Johor. Tahun 1547, secara pribadi ia terlibat dalam serangan yang gagal ke Kesultanan Malaka. Setelah kejadian ini, Aceh berubah menjadi negara yang damai selama 10 tahun pada dekade 1550-an. Akan tetapi, pada tahun 1564 atau 1565, ia menyerang Johor dan membawa Sultannya, Alauddin Riayat Shah II dari Johor, ke Aceh dan ia-pun dihukum mati, kemudian menobatkan Muzaffar II dari Johor di takhta Kesultanan Johor. Aceh kemudian mengambil kekuasan atas Aru dari Kesultanan Johor. Tahun 1568 ia melancarkan kembali serangan yang gagal ke Malaka. Ketika Muzaffar diracun di Johor, Alauddin mengirimkan armadanya ke Johor, tetapi harus kembali karena pertahanan Johor yang kuat.
(wikipedia)

Alauddin bin Ahmad dari Perak

Sultan Alauddin Mansur Syah (meninggal 1585 atau 1586) merupakan sultan kedelapan Kesultanan Aceh. Dia memerintah Aceh pada tahun 1579-1585 atau 1586. Dia dikenal sebagai salah seorang penguasa Muslim yang saleh dan sangat tertarik dengan masalah budaya. Selama masa pemerintahannya Kesultanan Aceh melakukan beberapa kali ekspansi militer di Semenanjung Melayu. Kematiannya mengakhiri periode panjang 65 tahun perang antara Kesultanan Aceh dan Portugis.

Latar belakang
Dia adalah sultan Aceh keturunan Perak, awalnya dia adalah salah seorang pangeran Kesultanan Perak yang ditawan Aceh ketika Sultan Ali Riayat Syah I dari dinasti Meukuta Alam mengadakan ekspedisi militer ke Perak. Di Aceh pangeran Mansur menikahi seorang janda sultan sebelumnya dari kalangan kerabat kesultanan. Ketika Sultan Ali Riayat Syah mangkat tahun 1579, meninggalkan kisruh politik di kesultanan Aceh. Tiga orang diangkat sebagai sultan pada tahun 1579 namun tidak mampu mengatasi permasalahan politik yang sedang bergejolak. Terbunuhnya sultan terakhir dinasti Meukuta Alam Sultan Zainal Abidin ibn Abdullah membuat pangeran Mansur yang merupakan keturunan sultan Melaka dianggap tepat menjadi sultan Aceh pada tahun 1579.

Masa Pemerintahan
Sultan Alauddin Mansur dipuji oleh sejarah karena sikapnya yang saleh. Pada masanya ia memerintahkan para uleebalang untuk menumbuhkan jenggot dan menetapkan pakaian Jubah dan sorban (pakaian Muslim) sebagai pakaian resmi kenegaraan. Selama itu pula banyak ulama dari bagian lain dari dunia Islam mengunjungi Aceh. Beberapa sumber menyebutkan Syekh AbdulKhair dari Mekah yang mengajarkan tentang tasauf dan mistisisme, Syaikh Muhammad Yamani yang mengajarkan tentang fiqh, dan Syekh Muhammad Jailani dari Ranir di Gujarat, yang merupakan paman dari ulama terkenal Nuruddin ar-Raniri yang mengajar logika, retorika, dan lain lain[3]. Pada tahun 1582 sultan mengirim armada melawan Johor di Semenanjung Melayu. Meskipun ekspedisi militer itu gagal mengalahkan kedudukan Portugis di Melaka namun Johor, sekutu utama Portugis di negeri-negeri Melayu berhasil ditaklukan. Kesultanan muslim Johor dipandang sebagai saingan berbahaya diwilayah selat Malaka. Namun perseteruan antara Aceh dan Johor malah berakibat fatal dengan semakin memberi kesempatan bagi Portugis mengambil keuntungan politik di wilayah tersebut.

Kematiannya
Berkali-kali ia merencanakan strategi baru untuk menyerang Portugis, tetapi rencana-rencana tersebut tidak pernah berhasil. Hingga kematiannya sendiri pada tahun 1585 atau 1586 ketika dia dibunuh secara misterius. Menurut penulis sejarah Portugis Diogo de Couto seorang jenderal dan mantan budak, Mora Ratissa, yang membunuhnya. Namun menurut catatan Perancis pembunuh itu adalah seseorang yang kemudian menjadi Sultan Aceh dengan nama Alauddin Ri'ayat Syah Sayyid al-Mukammal. Dia mewariskan kekuasaanya kepada Raja Asyem seorang cucu sultan dari putrinya yang menikah dengan Sultan Johor Ali Abdul Jalil Syah II. Namun penerusnya adalah seorang sultan non-Aceh yang bergelar Ali Ri'ayat Syah II dari Indrapura.
(wikipedia)